Senin, 09 Mei 2016

PENGEMBANGAN GURU : KONSEP KEPRIBADIAN GURU DALAM AL-QUR’AN



KONSEP KEPRIBADIAN GURU DALAM AL-QUR’AN
Disusun oleh kelompok: 12
1.      Siti Halimah                (1132020159)
2.      Taufik Hidayat Lubis  (1132020170)

BAB I
PENDAHULUAN
Faktor terpenting bagi seorang guru adalah kepribadiannya. Kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia bisa menjadi pendidik yang baik bagi anak didiknya atau justru ia menjadi perusak atau bahkan penghancur anak didiknya. Anak didik merupakan generasi penerus, terutama mereka yang masih duduk di sekolah dasar dan menengah, yang masih atau sedang mengalami kegoncangan jiwa.
Guru akan menjadi anutan (teladan, contoh yang baik) yang akan ditiru oleh para siswanya. Bukan hanya hal-hal yang baik, bahkan hal-hal yang buruk pun akan mereka tiru. Guru yang baik bukan hanya guru yang profesional tentu akan memiliki kepribadian yang baik pula. Lalu apa yang disebut dengan keribadian guru? Dalam makalah ini, akan dibahas apa makna kepribadian guru secara sederhana sehingga siapapun bisa menilai apakah seorang guru itu berkepribadian baik atau buruk.


BAB II
PEMBAHASAN
1.      PENGERTIAN KEPRIBADIAN GURU
Kepribadian disebut dengan personality (bahasa Inggris); persoonlijkheid (bahasa Belanda); personlichkeit (bahasa Jerman); personalita (bahasa Itali), dan personalidad (bahasa Spanyol). Akar kata Istilah tersebut berasal dari bahasa latin persona “topeng” yaitu topeng yang dipakai oleh aktor drama atau sandiwara.[1]
Kata kunci pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider mengartikan penyesuaian diri sebagai suatu proses respons individu baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional, frustasi, dan konflik serta memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan.
Kepribadian adalah sifat dan tingkah laku khas yang membedakannya dengan orang lain; integrasi karakteristik dari strukur-struktur, pola tingkah laku, minat, pendirian, kemampuan dan potensi yang dimiliki seseorang sebagaimana diketahui oleh orang lain. Janawi mengemukakan bahwa kepribadian merupakan kemampuan penyesuaian diri (adaptasi) seseorang yang bersifat unik (khas).[2]
Secara etimologis guru sering disebut pendidik. Dalam bahasa Arab ada beberapa kata yang menunjukkan profesi ini seperti mudarris, mu’allim, murabbi, dan mu’addib yang meski memiliki makna yang sama, namun masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda.
Pengertian murabbi mengisyaratkan bahwa guru adalah orang yang memiliki sifat rabbani, artinya orang yang bijaksana, bertanggungjawab, berkasih sayang terhadap siswa dan mempunyai pengetahuan tentang Rabb. Dalam pengertian mu’allim, ia mengandung arti bahwa guru adalah orang berilmu yang tidak hanya menguasai ilmu secara teotorik tetapi mempunyai komitmen yang tinggi dalam mengembangkan ilmu yang dimilikinya. Sedangkan dalam konsep ta’dib, terkandung pengertian integrasi antara ilmu dan amal sekaligus.[3]
Secara terminologis, guru sering diartikan sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan siswa dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi (fitrah) siswa, baik potensi kognitif, afektif, maupun psikomotor. Guru juga berarti orang dewasa yang bertanggungjawab memberikan pertolongan pada siswa dalam perkembangan jasmani dan ruhaninya agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri memenuhi tugasnya sebagai hamba (‘abd) dan khalifah alloh (khalifatulloh), dan mampu sebagai makhluk individual yang mandiri.
Pendidik yang pertama dan yang paling utama adalah orangtua di rumah. Mereka bertanggungjawab penuh atas kemajuan perkembangan anak-anak mereka, karena pada dasarnya kesuksesan anak adalah sukses orangtua juga. Alloh berfirman dalam Al-Qur’an:
يَايُّهَا الذِيْنَ امَنُوْا قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَ أَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُوْدُها النَّاسُ وَالحِجَارَةُ عَلَيْها مَلئكةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُوْنَ الله ما أَمَرَهُمْ وَ يَفْعَلُوْنَ ما يُؤْمَرُوْنَ .
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Alloh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Secara normatif guru adalah mereka yang bekerja di sekolah atau madrasah, mengajar, membimbing, melatih para siswa agar mereka memiliki kemampuan dan keterampilan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, juga dapat menjalani kehidupannya dengan baik. Inilah makna guru dalam arti sempit.
Secara umum dan dalam makna yang luas, guru adalah orang yang mengajari orang lain atau kelompok orang, baik di lembaga pendidikan formal, bahkan di lingkungan keluarga sekalipun.

2.      Al-Qur’an Tentang Kepribadian Guru
·         QS. Al-Rahman (55): 1-4
الرَّحْمنُ .. عَلّمَ الْقُرْانَ ... خلَقَ الإِنْسَانَ ... عَلَّمَهُ الْبَيَانَ
“(Tuhan) Yang Maha Pemurah (1) Yang telah mengajarkan Al-Qur’an (2) Dia menciptakan manusia (3) Mengajarnya pandai berbicara (4)”
Dalam perspektif pendidikan kandungan surat Al-Rahman ini seharusnya menjiwai atau menjadi sifat hamba Alloh yang melaksanakan tugas ketuhanan, yaitu mendidik manusia. Dialah guru/pendidik atau sebutan teknis lainnya. Dengan berpedoman pada ayat diatas, seorang guru harus memiliki sifat (rahman) kasih sayang kepada anak didiknya. Dengan sifat ini guru akan menjauhkan diri dari berbagai perilaku negatif yang merugikan diri dan anak didiknya. Sikap kasih sayang tersebut akan menempatkan dirinya sebagai sosok yang mampu meneladani Alloh SWT dalam melaksanakan tugas pendidikan. Meneladani Alloh dengan mewujudkan kasih sayang dalam mendidik merupakan salah satu aktualisasi hadits Nabi yang memerintahkan manusia untuk berakhlak dengan akhlak Alloh SWT (Takhallaqu bi Akhlaq Alloh).[4]
Selain memberikan petunjuk untuk menerapkan kasih sayang dalam tugas mendidik, ayat ini juga memberikan isyarat adanya kewajiban utama seorang pendidik yaitu mendidik atau yang lebih operasional lagi, mengajar (‘allama yang melahirkan konsep ta’lim).
Disamping dengan meneladani Alloh dan Rosul-Nya, dunia pendidikan misalnya di Indonesia mengharuskan dimilikinya sejumlah kompetensi oleh guru, yang secara teologis rujukannya ditemukan dalam ajaran Islam dan secara yuridis formal dibakukan dalam berbagai regulasi negara seperti dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan atau keputusan Menteri, dan sebagainya. Beberapa kompetensi tersebut ialah kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian dan sosial.
Sebagai contoh, seorang guru yang memiliki sifat kepribadian seperti yang disebutkan dalam QS. A-Rahman: 1-4 ini, apabila ia berhadapan dengan peserta didiknya, tutur katanya akan menyejukkan, perilakunya akan menjadikan anak didik bersimpati dan meneladaninya. Dia tidak akan keras dan kasar, tidak akan cepat marah apalagi melakukan tindakan kekerasan fisik yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai agung ketuhanan dan nilai-nilai luhur pendidikan.

3.      Pola Kepribadian
Elizabeth B. Hurlock (1986) mengemukakan bahwa pola kepribadian merupakan suatu penyatuan struktur yang multidimensi yang terdiri atas “self-concept” sebagai inti atau pusat gravitasi kepribadian dan “traits” sebagai struktur yang mengintegrasikann kecenderungan pola-pola respon, yaitu:[5]
1)      Self Concept
Self concept ini dapat diartikan sebagai: (a) persepsi, keyakinan, perasaan, atau sikap seseorang tentang dirinya; (b) kualitas pensifatan individu tentang dirinya; dan (c) suatu sistem pemaknaan individu dan pandangan orang lain tentang dirinya.
Self-concept ini memiliki tiga komponen, yaitu: (a) perceptual atau physical self-concept, citra seseorang tentang penampilan dirinya (kemenarikan tubuhnya), seperti kecantikan; (b) conceptual atau psychological self-concept, konsep seseorang tentang kemampuan (keunggulan) dan ketidakmampuan (kelemahan) dirinya, dan masa depannya, serta meliputi juga kualitas penyesuaian hidupnya: honesty, self confidence, indepedence, dan courage; dan (c) attitudinal, yang menyangkut perasaan seseorang tentang dirinya sekarang dan masa depannya, sikapnya terhadap keberhargaan, kebanggaan, dan keterhinaannya. Apabila seseorang sudah masuk masa dewasa, komponen ketiga ini terkait juga dengan aspek-aspek keyakinan, nilai-nilai, idealitas, aspirasi, dan komitmen terhadap filsafat hidupnya.
Dilihat dari jenisnya, self-concept ini terdiri atas:
·         The Basic Self-Concept, yaitu konsep seseorang tentang dirinya. Jenis ini meliputi persepsi seseorang tentang penampilan dirinya, kemampuan dan ketidakmampuannya, peranan dan status dalam kehidupannya, dan nilai-nilai, keyakinan, serta aspirasinya.
·         The Transitory Self-Concept, yaitu bahwa seseorang memiliki self-concept yang pada suatu saat dia memegangnya, tetapi pada saat lain dia melepaskannya. Self-concept ini mungkin menyenangkan, tetapi juga tidak menyenangkan. Kondisinya sangat situasional, sangat dipengaruhi oleh suasana perasaan (emosi), atau pengalaman yang telah lalu.
·         The Social Self-Concept. Jenis ini berkembang berdasarkan cara individu mempercayai orang lain yang mempersepsi dirinya, baik melalui perkataan maupun tindakan. Jenis ini sering juga dikatakan sebagai “mirror image”. Jersild mengatakan, apabila seorang anak diterima, dicintai, dan dihargai oleh orang-orang yang berarti baginya (yang pertama orang tuanya, kemudian guru dan teman) maka anak dapat mengembangkan sikap untuk menerima dan menghargai dirinya sendiri. Namun apabila orang-orang yang berarti (significat people) itu menghina, meyalahkan, dan menolaknya, maka anak akan mengembangkan sikap-sikap yang tidak menyenangkan bagi dirinya sendiri.
·         The Ideal Self-Concept, yakni persepsi seseorang tentang apa yang diinginkan mengenai dirinya, atau keyakinan tentang apa yang seharusnya mengenai dirinya. Konsep ini terkait dengan fisik mauun psikis.
b. Traits (Sifat atau Karakteristik)
Traits dapat diartikan sebagai aspek atau dimensi kepribadian yang terkait dengan karakteristik respon atau reaksi seseorang yang relatif konsisten (ajeg) dalam rangka menyesuaikan dirinya secara khas. Diartikan juga sebagai kecenderungan yang dipelajari untuk mereaksi rangsangan dari lingkungan.
Deskripsi diatas menggambarkan bahwa traits merupakan kecenderungan yang dipelajari untuk (a) mengevaluasi situasi, dan (b) mereaksi situasi dengan cara tertentu.
Setiap traits mempunyai tiga karakteristik: (a)Uniqueness, kekhasan dalam berperilaku, (b) likeableness, yaitu bahwa traits itu ada yang disenangi (liked) dan ada yang tidak disenangi (unliked), sebab traits itu berkontribusi terhadap keharmonisan atau ketidakharmonisan, kepuasan atau keidakpuasan orang yang memunyai traits tersebut.
Sama halnya dengan “self-concept”, “traits” pun dalam perkembangannya diengaruhi oleh faktor hereditas dan belajar. Faktor yang paling mempengaruhi adalah pola asuh orang tua, dan imitasi anak terhadap orang yang menjadi idolanya. Beberapa traits dipelajari secara “trial and error”, artinya anak lebih bersifat kebetulan, seperti perilaku agresif dalam mereaksi frustasi. Contohnya: anak menangis sambil memecahkan vas bunga, gara-gara tidak dibelikan mainan yang diinginkannya. Apabila dengan perbuatan agresifnya itu, orang tua akhirnya membelikan mainan yang diinginkan anak, maka anak cenderung akan mengulangi perbuatan tersebut.
Anak juga belajar (memahami) bahwa traits atau sifat-sifat (karakteristik) dasar tertentu sangat dihargai (dijunjung tinggi) oleh semua kelompok budaya secara universal seperti: kejujuran, respek terhadap hak-hak orang lain, dan sikap apresiatif.
4.      Dinamika Kepribadian
Dalam Al-Qur’an surat Asy-Syams: 8, Alloh berfirman:[6]
فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَها وَ تَقْوىها
“Maka Alloh mengilhamkan kepada jiwa manusia, fujur (kefasikan/kedurjanaan) dan taqwa (beriman dan beramal sholeh)”.
Ayat ini menunjukkan bahwa manusia memang bukan malaikat, yang selamanya istiqomah dalam kebenaran. Manusia adalah makhluk yang netral, kepribadiannya itu bisa berkembang seperti malaikat, bisa juga seperti setan.

5.      Aspek-Aspek Kepribadian Guru
Memiliki kompetensi kepribadian yang baik bagi guru memang sangat penting. Pribadi guru memiliki andil besar dalam proses pendidikan, terutama dalam menggapai keberhasilan pendidikan. Pribadi guru memiliki peranan yang sangat besar dalam membentuk pribadi siwa karena guru adalah sosok figur sentral yang mempola siswa.[7]
Keberhasilan suatu pembelajaran atau proses pendidikan juga sangat ditentukan oleh faktor guru. Maka guru yang memiliki kepribadian baik akan banyak berpengaruh baik pula terhadap perkembangan siswa, terutama mental dan spiritualnya.
Dengan demikian, guru tidak hanya dituntut untuk memaknai pembelajaran, tetapi juga diharuskan menjadikan suasana pembelajaran tersebut sebagai media pembentukan kompetensi dan perbaikan kualitas pribadi peserta didik.
Oleh karena itu, seorang guru dikatakan guru profesional jika telah melekat padanya kompetensi kepribadian yang mencakup pribadi yang disiplin, pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, memiliki akhlak yang mulia sehingga menjadi teladan siswa dan masyarakat sekitarnya.
Sementara itu Abin Syamsuddin mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang di dalamnya mencakup:[8]
a.       Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, memegang pendirian, atau pendapat.
b.      Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
c.       Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negativ, atau ambivalen.
d.      Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosioanal terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, marah, sedih, atau putus asa.
e.       Responsibilitas (tanggung jawab); kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mannu menerima resiko secara wajar, atau melarikan diri dari resiko yang dihadapi.
f.       Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
Pasal ini menjadi penting menampilkan pandangan Islam tentang kepribadian, karena teori kepribadian yang selama ini dianut bermula dari teori kepribadian yang dirumuskan para pemikir Barat yang cenderung mekanistik, lebih melihat sebagai hubungan sebab-akibat, tanpa mempertimbangkan aspek internal seseorang. Bahkan aliran Psikoanalaisis (Freud) memandang bahwa orang beragama dianggap sebagai sebagai orang yang mempunyi gangguan jiwa (neurotik).
Islam memandang manusia sebagai makhluk Alloh yang mempunyai kewajiban atas tugas sebagai hamba-Nya yang harus mengabdi kepada Alloh dan bertugas sebagai khalifah Alloh di muka bumi. Islam memandang bahwa setiap individu yang lahir ke muka bumi membawa fitrah ‘potensi’ yang dapat dikembangkan dalam hidupnya. Potensi manusia yaitu kecenderungan untuk berbuat baik (takwa) dan kecenderungan untuk berbuat buruk (fujur). Dalam hal beragama, manusia mempunyai potensi untuk bertauhid kepada Alloh. Dalam menghadapi hidup di dunia ini, manusia diberi kebebasan untuk memilih.
Dalam Islam kepribadian dikenal dengan syakhsiyyah. Kata tersebut berasal ari kata syakhsun yang berarti pribadi. Selanjutnya diberi ya nisbat sehingga menjadi nomina (kata benda) buatan, syakhsiyyat yang berarti kepribadian. Abdul Mujib menjelaskan bahwa kepribadian adalah intergrasi sistem kalbu, akal dan nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku.
Tipe kepribadian dalam Islam dapat dijelaskan bahwa pilihan manusia untuk berbuat hak dan bathil akan melahirkan perilaku-perilaku tertentu, sesuai karakteristik atau tuntutan yang hak atau bathil tersebut. Dalam Al-Qur’an, tipe kepribadian manusia dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu: mukmin (orang yang beriman), kafir (menolak kebenaran), dan munafik (meragukan kebenaran).[9]

6.      Perubahan Kepribadian
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan kepribadian diantaranya sebagai berikut:
a.       Faktor fisik, seperti: gangguan otak, kurang gizi (malnutrisi), mengkonsumsi obat-obat terlarang, dan gangguan organik (sakit atau kecelakaan).
b.      Faktor lingkungan sosial budaya, seperti: krisis politik, ekonomi, dan keamanan yang menyebabkan terjadinya masalah pribadi (stres, depresi) dan masalah sosial (pengangguran, premanisme, dan kriminalitas).
c.       Faktor diri sendiri, seperti: tekanan emosional (frustasi yang berkepanjangan), dan identifikasi atau imitasi terhadap orang lain yang berkeripadian menyimpang.


BAB III
PENUTUP/SIMPULAN
Kepribadian adalah sifat dan tingkah laku khas yang membedakannya dengan orang lain; integrasi karakteristik dari strukur-struktur, pola tingkah laku, minat, pendirian, kemampuan dan potensi yang dimiliki seseorang sebagaimana diketahui oleh orang lain. Janawi mengemukakan bahwa kepribadian merupakan kemampuan penyesuaian diri (adaptasi) seseorang yang bersifat unik (khas).
Secara terminologis, guru sering diartikan sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan siswa dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi (fitrah) siswa, baik potensi kognitif, afektif, maupun psikomotor.
Selain memberikan petunjuk untuk menerapkan kasih sayang dalam tugas mendidik, ayat ini juga memberikan isyarat adanya kewajiban utama seorang pendidik yaitu mendidik atau yang lebih operasional lagi, mengajar (‘allama yang melahirkan konsep ta’lim).
Sebagai contoh, seorang guru yang memiliki sifat kepribadian seperti yang disebutkan dalam QS. A-Rahman: 1-4 ini, apabila ia berhadapan dengan peserta didiknya, tutur katanya akan menyejukkan, perilakunya akan menjadikan anak didik bersimpati dan meneladaninya. Dia tidak akan keras dan kasar, tidak akan cepat marah apalagi melakukan tindakan kekerasan fisik yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai agung ketuhanan dan nilai-nilai luhur pendidikan.
 Abin Syamsuddin mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang di dalamnya  mencakup karakter, temperamen, sikap, stabilitas emosi, responsibilitas (tanggung jawab), dan sosiabilitas.






DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin, Undang, Anwar, Cecep, 2014. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Bandung.
Janawi, 2011. Kompetensi Guru Citra Guru Profesional, Bandung: Alfabeta.
Rochman, Chaerul, Gunawan, Heri. 2011. Pengembangan Kompetensi Kepribadian Guru, Bandung: Nuansa Cendikia
Ruswandi, Uus, Badruddin, 2010. Pengembangan Kepribadian Guru, Bandung: CV. Insan Mandiri.
Yusuf, Syamsu, Nurihsan Juntika, 2011. Teori Kepribadian, Bandung: Rosda Karya.




[1] Uus Ruswandi dan Badruddin, Pengembangan Kepribadian Guru, Bandung: CV. Insan Mandiri, 2010, hlm. 51
[2] Janawi, Kompetensi Guru Citra Guru Profesional, Bandung: Alfabeta, 2011, hlm. 126.
[3] Chaerul Rochman dan Heri Gunawan, Pengembangan Kompetensi Kepribadian Guru, Bandung: Nuansa Cendikia, 2011, hlm. 24

[4] Undang Burhanuddin dan Cecep anwar, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Bandung, 2014, hlm. 109
[5] Syamsu Yusuf, LN dan A. Juntika Nur Ihsan, Teori Kepribadian, Bandung: Rosda Karya, 2011, hlm. 9
[6] Ibid., hlm. 212
[7] Op.cit., hlm. 35
[8] Uus Ruswandi dan Badruddin, Pengembangan Kepribadian Guru, Bandung: CV. Insan Mandiri, 2010, hlm. 52.
[9] Ibid., hlm. 122-123

Tidak ada komentar:

Posting Komentar