KONSEP KEPRIBADIAN GURU DALAM AL-QUR’AN
Disusun oleh kelompok: 12
1.
Siti Halimah
(1132020159)
2.
Taufik Hidayat Lubis (1132020170)
BAB I
PENDAHULUAN
Faktor terpenting bagi seorang guru adalah kepribadiannya.
Kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia bisa menjadi pendidik yang
baik bagi anak didiknya atau justru ia menjadi perusak atau bahkan penghancur
anak didiknya. Anak didik merupakan generasi penerus, terutama mereka yang
masih duduk di sekolah dasar dan menengah, yang masih atau sedang mengalami
kegoncangan jiwa.
Guru akan menjadi anutan (teladan, contoh yang baik) yang akan
ditiru oleh para siswanya. Bukan hanya hal-hal yang baik, bahkan hal-hal yang
buruk pun akan mereka tiru. Guru yang baik bukan hanya guru yang profesional
tentu akan memiliki kepribadian yang baik pula. Lalu apa yang disebut dengan
keribadian guru? Dalam makalah ini, akan dibahas apa makna kepribadian guru
secara sederhana sehingga siapapun bisa menilai apakah seorang guru itu
berkepribadian baik atau buruk.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN
KEPRIBADIAN GURU
Kepribadian disebut dengan personality
(bahasa Inggris); persoonlijkheid (bahasa Belanda); personlichkeit
(bahasa Jerman); personalita (bahasa Itali), dan personalidad
(bahasa Spanyol). Akar kata Istilah tersebut berasal dari bahasa latin persona
“topeng” yaitu topeng yang dipakai oleh aktor drama atau sandiwara.[1]
Kata kunci pengertian kepribadian
adalah penyesuaian diri. Scheneider mengartikan penyesuaian diri sebagai suatu
proses respons individu baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya
mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional, frustasi,
dan konflik serta memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut
dengan tuntutan (norma) lingkungan.
Kepribadian adalah sifat dan tingkah
laku khas yang membedakannya dengan orang lain; integrasi karakteristik dari
strukur-struktur, pola tingkah laku, minat, pendirian, kemampuan dan potensi
yang dimiliki seseorang sebagaimana diketahui oleh orang lain. Janawi
mengemukakan bahwa kepribadian merupakan kemampuan penyesuaian diri (adaptasi)
seseorang yang bersifat unik (khas).[2]
Secara etimologis guru sering
disebut pendidik. Dalam bahasa Arab ada beberapa kata yang menunjukkan profesi
ini seperti mudarris, mu’allim, murabbi, dan mu’addib yang meski
memiliki makna yang sama, namun masing-masing memiliki karakteristik yang
berbeda.
Pengertian murabbi
mengisyaratkan bahwa guru adalah orang yang memiliki sifat rabbani, artinya
orang yang bijaksana, bertanggungjawab, berkasih sayang terhadap siswa dan
mempunyai pengetahuan tentang Rabb. Dalam pengertian mu’allim, ia
mengandung arti bahwa guru adalah orang berilmu yang tidak hanya menguasai ilmu
secara teotorik tetapi mempunyai komitmen yang tinggi dalam mengembangkan ilmu
yang dimilikinya. Sedangkan dalam konsep ta’dib, terkandung pengertian
integrasi antara ilmu dan amal sekaligus.[3]
Secara terminologis, guru sering
diartikan sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan siswa
dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi (fitrah) siswa, baik potensi
kognitif, afektif, maupun psikomotor. Guru juga berarti orang dewasa yang
bertanggungjawab memberikan pertolongan pada siswa dalam perkembangan jasmani
dan ruhaninya agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri memenuhi
tugasnya sebagai hamba (‘abd) dan khalifah alloh (khalifatulloh),
dan mampu sebagai makhluk individual yang mandiri.
Pendidik yang pertama dan yang
paling utama adalah orangtua di rumah. Mereka bertanggungjawab penuh atas
kemajuan perkembangan anak-anak mereka, karena pada dasarnya kesuksesan anak
adalah sukses orangtua juga. Alloh berfirman dalam Al-Qur’an:
يَايُّهَا الذِيْنَ امَنُوْا قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَ أَهْلِيْكُمْ
نَارًا وَقُوْدُها النَّاسُ وَالحِجَارَةُ عَلَيْها مَلئكةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لاَ
يَعْصُوْنَ الله ما أَمَرَهُمْ وَ يَفْعَلُوْنَ ما يُؤْمَرُوْنَ .
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Alloh terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.” (QS.
At-Tahrim: 6)
Secara normatif guru adalah mereka
yang bekerja di sekolah atau madrasah, mengajar, membimbing, melatih para siswa
agar mereka memiliki kemampuan dan keterampilan untuk melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi, juga dapat menjalani kehidupannya dengan baik.
Inilah makna guru dalam arti sempit.
Secara umum dan dalam makna yang
luas, guru adalah orang yang mengajari orang lain atau kelompok orang, baik di
lembaga pendidikan formal, bahkan di lingkungan keluarga sekalipun.
2.
Al-Qur’an
Tentang Kepribadian Guru
·
QS. Al-Rahman
(55): 1-4
الرَّحْمنُ .. عَلّمَ الْقُرْانَ ... خلَقَ الإِنْسَانَ ... عَلَّمَهُ
الْبَيَانَ
“(Tuhan)
Yang Maha Pemurah (1) Yang telah mengajarkan Al-Qur’an (2) Dia menciptakan
manusia (3) Mengajarnya pandai berbicara (4)”
Dalam perspektif pendidikan kandungan surat Al-Rahman ini
seharusnya menjiwai atau menjadi sifat hamba Alloh yang melaksanakan tugas
ketuhanan, yaitu mendidik manusia. Dialah guru/pendidik atau sebutan teknis
lainnya. Dengan berpedoman pada ayat diatas, seorang guru harus memiliki sifat
(rahman) kasih sayang kepada anak didiknya. Dengan sifat ini guru akan
menjauhkan diri dari berbagai perilaku negatif yang merugikan diri dan anak
didiknya. Sikap kasih sayang tersebut akan menempatkan dirinya sebagai sosok yang
mampu meneladani Alloh SWT dalam melaksanakan tugas pendidikan. Meneladani
Alloh dengan mewujudkan kasih sayang dalam mendidik merupakan salah satu
aktualisasi hadits Nabi yang memerintahkan manusia untuk berakhlak dengan
akhlak Alloh SWT (Takhallaqu bi Akhlaq Alloh).[4]
Selain memberikan petunjuk untuk menerapkan kasih sayang dalam
tugas mendidik, ayat ini juga memberikan isyarat adanya kewajiban utama seorang
pendidik yaitu mendidik atau yang lebih operasional lagi, mengajar (‘allama
yang melahirkan konsep ta’lim).
Disamping dengan meneladani Alloh dan Rosul-Nya, dunia pendidikan
misalnya di Indonesia mengharuskan dimilikinya sejumlah kompetensi oleh guru,
yang secara teologis rujukannya ditemukan dalam ajaran Islam dan secara yuridis
formal dibakukan dalam berbagai regulasi negara seperti dalam bentuk
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan atau keputusan Menteri, dan
sebagainya. Beberapa kompetensi tersebut ialah kompetensi pedagogik,
profesional, kepribadian dan sosial.
Sebagai contoh, seorang guru yang memiliki sifat kepribadian
seperti yang disebutkan dalam QS. A-Rahman: 1-4 ini, apabila ia berhadapan
dengan peserta didiknya, tutur katanya akan menyejukkan, perilakunya akan
menjadikan anak didik bersimpati dan meneladaninya. Dia tidak akan keras dan
kasar, tidak akan cepat marah apalagi melakukan tindakan kekerasan fisik yang
sangat bertentangan dengan nilai-nilai agung ketuhanan dan nilai-nilai luhur
pendidikan.
3.
Pola
Kepribadian
Elizabeth B. Hurlock (1986)
mengemukakan bahwa pola kepribadian merupakan suatu penyatuan struktur yang
multidimensi yang terdiri atas “self-concept” sebagai inti atau pusat
gravitasi kepribadian dan “traits” sebagai struktur yang
mengintegrasikann kecenderungan pola-pola respon, yaitu:[5]
1)
Self Concept
Self
concept ini dapat diartikan sebagai: (a) persepsi, keyakinan, perasaan, atau
sikap seseorang tentang dirinya; (b) kualitas pensifatan individu tentang
dirinya; dan (c) suatu sistem pemaknaan individu dan pandangan orang lain
tentang dirinya.
Self-concept
ini memiliki tiga komponen, yaitu: (a) perceptual atau physical self-concept,
citra seseorang tentang penampilan dirinya (kemenarikan tubuhnya), seperti
kecantikan; (b) conceptual atau psychological self-concept, konsep seseorang
tentang kemampuan (keunggulan) dan ketidakmampuan (kelemahan) dirinya, dan masa
depannya, serta meliputi juga kualitas penyesuaian hidupnya: honesty, self
confidence, indepedence, dan courage; dan (c) attitudinal, yang menyangkut
perasaan seseorang tentang dirinya sekarang dan masa depannya, sikapnya
terhadap keberhargaan, kebanggaan, dan keterhinaannya. Apabila seseorang sudah
masuk masa dewasa, komponen ketiga ini terkait juga dengan aspek-aspek
keyakinan, nilai-nilai, idealitas, aspirasi, dan komitmen terhadap filsafat
hidupnya.
Dilihat
dari jenisnya, self-concept ini terdiri atas:
·
The Basic
Self-Concept, yaitu konsep seseorang tentang dirinya. Jenis ini meliputi
persepsi seseorang tentang penampilan dirinya, kemampuan dan ketidakmampuannya,
peranan dan status dalam kehidupannya, dan nilai-nilai, keyakinan, serta
aspirasinya.
·
The Transitory
Self-Concept, yaitu bahwa seseorang memiliki self-concept yang pada suatu saat
dia memegangnya, tetapi pada saat lain dia melepaskannya. Self-concept ini
mungkin menyenangkan, tetapi juga tidak menyenangkan. Kondisinya sangat
situasional, sangat dipengaruhi oleh suasana perasaan (emosi), atau pengalaman
yang telah lalu.
·
The Social
Self-Concept. Jenis ini berkembang berdasarkan cara individu mempercayai orang
lain yang mempersepsi dirinya, baik melalui perkataan maupun tindakan. Jenis
ini sering juga dikatakan sebagai “mirror image”. Jersild mengatakan, apabila
seorang anak diterima, dicintai, dan dihargai oleh orang-orang yang berarti
baginya (yang pertama orang tuanya, kemudian guru dan teman) maka anak dapat
mengembangkan sikap untuk menerima dan menghargai dirinya sendiri. Namun
apabila orang-orang yang berarti (significat people) itu menghina, meyalahkan,
dan menolaknya, maka anak akan mengembangkan sikap-sikap yang tidak
menyenangkan bagi dirinya sendiri.
·
The Ideal
Self-Concept, yakni persepsi seseorang tentang apa yang diinginkan mengenai
dirinya, atau keyakinan tentang apa yang seharusnya mengenai dirinya. Konsep
ini terkait dengan fisik mauun psikis.
b.
Traits (Sifat atau Karakteristik)
Traits
dapat diartikan sebagai aspek atau dimensi kepribadian yang terkait dengan
karakteristik respon atau reaksi seseorang yang relatif konsisten (ajeg) dalam
rangka menyesuaikan dirinya secara khas. Diartikan juga sebagai kecenderungan
yang dipelajari untuk mereaksi rangsangan dari lingkungan.
Deskripsi
diatas menggambarkan bahwa traits merupakan kecenderungan yang dipelajari untuk
(a) mengevaluasi situasi, dan (b) mereaksi situasi dengan cara tertentu.
Setiap
traits mempunyai tiga karakteristik: (a)Uniqueness, kekhasan dalam berperilaku,
(b) likeableness, yaitu bahwa traits itu ada yang disenangi (liked) dan ada
yang tidak disenangi (unliked), sebab traits itu berkontribusi terhadap
keharmonisan atau ketidakharmonisan, kepuasan atau keidakpuasan orang yang
memunyai traits tersebut.
Sama
halnya dengan “self-concept”, “traits” pun dalam perkembangannya diengaruhi
oleh faktor hereditas dan belajar. Faktor yang paling mempengaruhi adalah pola
asuh orang tua, dan imitasi anak terhadap orang yang menjadi idolanya. Beberapa
traits dipelajari secara “trial and error”, artinya anak lebih bersifat
kebetulan, seperti perilaku agresif dalam mereaksi frustasi. Contohnya: anak
menangis sambil memecahkan vas bunga, gara-gara tidak dibelikan mainan yang
diinginkannya. Apabila dengan perbuatan agresifnya itu, orang tua akhirnya
membelikan mainan yang diinginkan anak, maka anak cenderung akan mengulangi
perbuatan tersebut.
Anak
juga belajar (memahami) bahwa traits atau sifat-sifat (karakteristik) dasar
tertentu sangat dihargai (dijunjung tinggi) oleh semua kelompok budaya secara
universal seperti: kejujuran, respek terhadap hak-hak orang lain, dan sikap
apresiatif.
4.
Dinamika
Kepribadian
Dalam Al-Qur’an surat Asy-Syams: 8, Alloh berfirman:[6]
فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَها وَ تَقْوىها
“Maka Alloh mengilhamkan kepada jiwa
manusia, fujur (kefasikan/kedurjanaan) dan taqwa (beriman dan beramal sholeh)”.
Ayat ini menunjukkan bahwa manusia memang bukan malaikat, yang
selamanya istiqomah dalam kebenaran. Manusia adalah makhluk yang netral,
kepribadiannya itu bisa berkembang seperti malaikat, bisa juga seperti setan.
5.
Aspek-Aspek
Kepribadian Guru
Memiliki kompetensi kepribadian yang
baik bagi guru memang sangat penting. Pribadi guru memiliki andil besar dalam
proses pendidikan, terutama dalam menggapai keberhasilan pendidikan. Pribadi
guru memiliki peranan yang sangat besar dalam membentuk pribadi siwa karena
guru adalah sosok figur sentral yang mempola siswa.[7]
Keberhasilan suatu pembelajaran atau proses pendidikan juga sangat
ditentukan oleh faktor guru. Maka guru yang memiliki kepribadian baik akan
banyak berpengaruh baik pula terhadap perkembangan siswa, terutama mental dan
spiritualnya.
Dengan demikian, guru tidak hanya
dituntut untuk memaknai pembelajaran, tetapi juga diharuskan menjadikan suasana
pembelajaran tersebut sebagai media pembentukan kompetensi dan perbaikan
kualitas pribadi peserta didik.
Oleh karena itu, seorang guru
dikatakan guru profesional jika telah melekat padanya kompetensi kepribadian
yang mencakup pribadi yang disiplin, pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif,
dan berwibawa, memiliki akhlak yang mulia sehingga menjadi teladan siswa dan
masyarakat sekitarnya.
Sementara itu Abin Syamsuddin
mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang di dalamnya mencakup:[8]
a.
Karakter; yaitu
konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, memegang pendirian, atau
pendapat.
b.
Temperamen;
yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap
rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
c.
Sikap; sambutan
terhadap objek yang bersifat positif, negativ, atau ambivalen.
d.
Stabilitas
emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosioanal terhadap rangsangan dari
lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, marah, sedih, atau putus asa.
e.
Responsibilitas
(tanggung jawab); kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau perbuatan
yang dilakukan. Seperti mannu menerima resiko secara wajar, atau melarikan diri
dari resiko yang dihadapi.
f.
Sosiabilitas;
yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti
sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan
orang lain.
Pasal ini menjadi penting
menampilkan pandangan Islam tentang kepribadian, karena teori kepribadian yang
selama ini dianut bermula dari teori kepribadian yang dirumuskan para pemikir
Barat yang cenderung mekanistik, lebih melihat sebagai hubungan sebab-akibat,
tanpa mempertimbangkan aspek internal seseorang. Bahkan aliran Psikoanalaisis
(Freud) memandang bahwa orang beragama dianggap sebagai sebagai orang yang
mempunyi gangguan jiwa (neurotik).
Islam memandang manusia sebagai
makhluk Alloh yang mempunyai kewajiban atas tugas sebagai hamba-Nya yang harus
mengabdi kepada Alloh dan bertugas sebagai khalifah Alloh di muka bumi. Islam
memandang bahwa setiap individu yang lahir ke muka bumi membawa fitrah
‘potensi’ yang dapat dikembangkan dalam hidupnya. Potensi manusia yaitu
kecenderungan untuk berbuat baik (takwa) dan kecenderungan untuk berbuat buruk (fujur).
Dalam hal beragama, manusia mempunyai potensi untuk bertauhid kepada Alloh.
Dalam menghadapi hidup di dunia ini, manusia diberi kebebasan untuk memilih.
Dalam Islam kepribadian dikenal
dengan syakhsiyyah. Kata tersebut berasal ari kata syakhsun yang berarti
pribadi. Selanjutnya diberi ya nisbat sehingga menjadi nomina (kata benda)
buatan, syakhsiyyat yang berarti kepribadian. Abdul Mujib menjelaskan bahwa
kepribadian adalah intergrasi sistem kalbu, akal dan nafsu manusia yang
menimbulkan tingkah laku.
Tipe kepribadian dalam Islam dapat
dijelaskan bahwa pilihan manusia untuk berbuat hak dan bathil akan melahirkan
perilaku-perilaku tertentu, sesuai karakteristik atau tuntutan yang hak atau
bathil tersebut. Dalam Al-Qur’an, tipe kepribadian manusia dapat dikelompokkan
menjadi tiga macam, yaitu: mukmin (orang yang beriman), kafir (menolak
kebenaran), dan munafik (meragukan kebenaran).[9]
6.
Perubahan
Kepribadian
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan kepribadian
diantaranya sebagai berikut:
a.
Faktor fisik,
seperti: gangguan otak, kurang gizi (malnutrisi), mengkonsumsi obat-obat
terlarang, dan gangguan organik (sakit atau kecelakaan).
b.
Faktor
lingkungan sosial budaya, seperti: krisis politik, ekonomi, dan keamanan yang
menyebabkan terjadinya masalah pribadi (stres, depresi) dan masalah sosial
(pengangguran, premanisme, dan kriminalitas).
c.
Faktor diri
sendiri, seperti: tekanan emosional (frustasi yang berkepanjangan), dan
identifikasi atau imitasi terhadap orang lain yang berkeripadian menyimpang.
BAB III
PENUTUP/SIMPULAN
Kepribadian adalah sifat dan tingkah laku khas yang membedakannya
dengan orang lain; integrasi karakteristik dari strukur-struktur, pola tingkah
laku, minat, pendirian, kemampuan dan potensi yang dimiliki seseorang
sebagaimana diketahui oleh orang lain. Janawi mengemukakan bahwa kepribadian
merupakan kemampuan penyesuaian diri (adaptasi) seseorang yang bersifat unik
(khas).
Secara terminologis, guru sering diartikan sebagai orang yang
bertanggungjawab terhadap perkembangan siswa dengan mengupayakan perkembangan
seluruh potensi (fitrah) siswa, baik potensi kognitif, afektif, maupun
psikomotor.
Selain
memberikan petunjuk untuk menerapkan kasih sayang dalam tugas mendidik, ayat
ini juga memberikan isyarat adanya kewajiban utama seorang pendidik yaitu
mendidik atau yang lebih operasional lagi, mengajar (‘allama yang melahirkan
konsep ta’lim).
Sebagai
contoh, seorang guru yang memiliki sifat kepribadian seperti yang disebutkan
dalam QS. A-Rahman: 1-4 ini, apabila ia berhadapan dengan peserta didiknya,
tutur katanya akan menyejukkan, perilakunya akan menjadikan anak didik
bersimpati dan meneladaninya. Dia tidak akan keras dan kasar, tidak akan cepat
marah apalagi melakukan tindakan kekerasan fisik yang sangat bertentangan
dengan nilai-nilai agung ketuhanan dan nilai-nilai luhur pendidikan.
Abin Syamsuddin mengemukakan tentang
aspek-aspek kepribadian, yang di dalamnya mencakup karakter, temperamen, sikap, stabilitas
emosi, responsibilitas (tanggung jawab), dan sosiabilitas.
DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin, Undang, Anwar, Cecep, 2014. Tafsir Ayat-Ayat
Pendidikan, Bandung.
Janawi, 2011. Kompetensi Guru Citra Guru Profesional, Bandung:
Alfabeta.
Rochman, Chaerul, Gunawan, Heri. 2011. Pengembangan Kompetensi
Kepribadian Guru, Bandung: Nuansa Cendikia
Ruswandi, Uus, Badruddin, 2010. Pengembangan Kepribadian Guru,
Bandung: CV. Insan Mandiri.
Yusuf, Syamsu, Nurihsan Juntika, 2011. Teori Kepribadian,
Bandung: Rosda Karya.
[1] Uus Ruswandi
dan Badruddin, Pengembangan Kepribadian Guru, Bandung: CV. Insan
Mandiri, 2010, hlm. 51
[2] Janawi, Kompetensi
Guru Citra Guru Profesional, Bandung: Alfabeta, 2011, hlm. 126.
[3] Chaerul
Rochman dan Heri Gunawan, Pengembangan Kompetensi Kepribadian Guru,
Bandung: Nuansa Cendikia, 2011, hlm. 24
[4] Undang
Burhanuddin dan Cecep anwar, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Bandung, 2014,
hlm. 109
[5] Syamsu Yusuf,
LN dan A. Juntika Nur Ihsan, Teori Kepribadian, Bandung: Rosda Karya,
2011, hlm. 9
[6] Ibid.,
hlm. 212
[7] Op.cit.,
hlm. 35
[8] Uus Ruswandi
dan Badruddin,
Pengembangan Kepribadian Guru, Bandung: CV. Insan Mandiri, 2010, hlm. 52.
[9] Ibid.,
hlm. 122-123
Tidak ada komentar:
Posting Komentar